Selasa, 05 Oktober 2010

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL


A. Pendahuluan
Persoalan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional merupakan persoalan yang menarikuntuk dibahas. Hukum internasional merupakan peraturan yang mengatur persoalan lintas Negara. Hukum internasiaonal pada mulanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar Negara, namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Tidak dapat dielakkan bahwa hukum internasional mempengaruhi hukum nasional. Hal ini dikarenakan tak terlepas dari suatu Negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat internasional.
Negara-negara yang ada pasti akan memiliki hubungan satu sama lain, baik itu hubungan antara dua Negara saja maupun beberapa Negara. Hubungan ini akan melahirkan peraturan yang dipatuhi oleh masing-masing Negara tersebut kemudian berkembang menjadi peraturan yang akan dipatuhi bersama. peraturan bersama akan menjadi hukum yang tidak saja dipatuhi bersama sacara berkelompok tetapti akan berlaku secara universal bagi setiap Negara tanpa terkecuali. Hukum internasional juga dapat tercipta dengan adanya perjanjian atau kesepakatan dari kebiasaan nasional suatu Negara yang dianut oleh banyak Negara, kebiasaan ini disepakati sebagai hukum internasional.
 Hukum nasional dan hukum internasional sangat saling berhubungan. Misalnya, dalam pembentukan suatu hukum internasional pasti dipengaruhi oleh hukum nasional, dan tingkat kekuatan Negara tersebut juga akan mempengaruhi bagaimana arah kebijakan hukum internasional yang akan dibentuk. Hal ini menunjukan pentingnya hukum nasional masing-masing Negara dalam menentukan arah kebijakan hukum nasional. Dengan begitu hukum internasional terpengaruh dengan hukum nasional. Dan yang menjadi permasalahan yang penting untuk dibahas yaitu mengenai bagaimana hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.

B. Pembahasan
1. Pengertian hukum internasional
            Hukum internasional merupakan hukum yang mengatur hubungan lintas Negara. Dalam pembahasan ini mengkaji mengenai pengertian hukum internasional publik. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan batas Negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.[1] bukan bersifat perdata artinya mengatur hubungan antar Negara bukan mengatur hubungan antar orang-perorangan. Lebih jelas mengatur hubungan yang lintas Negara dalam hukum publik internasional terdapat 2 macam jenis subjek hukunya, yaitu:
(a)    Negara dengan Negara
(b)   Negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lain[2]
Hukum internasional juga  dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup:
(a)    organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu
(b)   peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”[3]
Lebih jelas muochtar kusumaatmdja mengatakan mengenai istilah hukum internasional. Hukum internasional juga dapat dikatakan sebagi hukum bangsa-bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antar raja-raja terdahulu. Dalam perkembangan sampai masa sekarang hukum internasional juga dikatakan sebagai hukum antarbangsa atau hukum antar negara akan dipergunakan untuk menunjukan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak muncul negara dalam bentuk yang modern sebagai negara nasional.[4]
berdasarkan defenisi hukum internasional yang telah dikemukan di atas dapat dapat disimpulkan hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan lintas Negara, tidak saja hubungan antara Negara dengan Negara juga mengatur hubungan Negara dengan subjek hukum bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lainnya yang mencakup peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara dan peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities)
untuk memberlakukan hukum internasional harus ada dasar atau landasan untuk pemberlakuan hukum internasional ini. Berlakunya hukum internasional ini didasarkan atas teori. Suatu teori yang telah memiliki pengakuan yang luas adalah bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya.melainkan suatu himpunan kaidahperilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata. [5] teori ini sebagai pendukung utama teori ini. Menurut Austin hukum dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat. Apabila kaidah hukum ini bukan bearasal dari legislatif yang berdaulat maka belum bisa dikatakan kaidah hukum. Hukum internasional karena tidak ada otoritas yang berdaulat atas masyarakat internasional dan hingga saat ini hukum internasional merupakan hukum yang bersifat kebiasaan maka hukum internasional bukanlah hukum melainkan moralitas internasional positif. Jika dipandanng hukum hanya berasal dari otoritas yang berdaulat maka hukum internasional bukan lah hukum, Akan tetapi hukum tidak dapat dikatakan hanya berasal dari otoritas yang berdaulat saja, hukum juga berasal dari kebiasaan yang yang disepakati bersama sebagai hukum dan diberlakukan untuk bersama.

2. pengertian hukum nasional
            Dalam suatu Negara terdapat peraturan yang ditaati oleh masyarakat dalam suatu Negara dan ditegakkan oleh Negara (pemerintah) tersebut. Hukum ini diakui bersama oleh mereka dan dipatuhi sebagai suatu perangkat yang akan menjadi dasar dalam mewujudkan keterauran dan ketentraman dalam kehidupan bersama. Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya.[6]
            Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.



3. hubungan hukum internasional dengan hukum nasional
            Hukum internasional dengan hukum nasional sebenarnya saling berkaitan satu sama lainnya, ada yang berpandangan hubungan antara kedua system hukum sangat berkaitan dan ada yang berpandangan bahwa kedua system hukum ini berbeda secara keseluruhan. J.G Starke berpandangan terdapat dua teori dalam mengenai hubungan hukum nasional dengan hukum internasional, yaitu teori dualisme dan teori monisme. Teori dualisme didukung oleh Triepel dan Anzilotti menyebutkan  dualisme ini sebagai teori kehendak, merupakan hal yang wajar bila menganggap hukum internasional merupakan system hukum yang terpisah dengan system hukum nasional. Menurut Tripel terdapat dua perbedaan diantara kedua sitem hukum ini, yaitu:
a.       subjek hukum nasional adalah individu, sedangakan subjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusifnya adalah negara-negara.
b.      Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendaka negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari negara-negara.[7]
Anzilotti menganut  suatu pendekatan yang berbeda. Ia membedakan hukum nasional dengan hukum internasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masingsistem itu ditentukan.hukum nasional ditentukan oleh prinsip fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati. Sedangkan system hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antara negara harus dijunjung tinggi.[8] Berdasarkan teori Anzelotti ini berarti pacta sunt servanda tidak dapat dikatanak sebagai norma yang melandasi hukum internasional.
Pendapat J.G Starke ini juga didukung oleh Burhan Tsani. Menurut burhan tsani ada dua paham mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum hukum nasional, yaitu paham dualism dan paham monisme. Menurut paham dualisme hukum nasional dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhannya berbeda secara keseluruhannya. Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah,tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional.
            Sedangkan paham monisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.[9]
            Mochtar kusumaatmadja berpendapat terdapat dua teori mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Pertama, teori voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional bukan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan Negara, dan yang kedua teori objektivis yang menyatakan bahwa hukum internasional itu ada dan berlaku terlepas dari kemauan Negara.[10]
            Teori voluntaris dan objektivis pada dasarnya sama dengan paham dualisme dan monime. Alasan yang diajukan oleh paham dualisme didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang didasarkan kenyataan. Diantara alas an-alasan yang terpenting dikemukankan sebagai berikut:
a.       kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukuminternasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan Negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat Negara.
b.      Kedua perangkat hukum memiliki subjek hukum yang berbeda. Subjek hukum nasional adalah orang-perorangan baik dalam apa yang dikatakan hukum perdata maupun hukum pidana, sedangkan subjek hukum nasional adalah Negara.
c.       Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataan seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempuran dalam lingkungan nasional. Alas an lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan kaidah hukum internasional. [11]
Padangan dualisme ini memiliki beberapa akibat penting. Salah satu akibat terpenting bahwa kaidahkaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber kepada perangkat hukum lain. Dengan kata lain tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dengan hukum nasional. Akibat kedua ketentuan hukum internasional merupakan transrormasi dari hukum nasional.
Paham monisme diadasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini adalah bahwa antar kedua perangkat hukum ini mungkin ada hirarki. Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional. Dimungkinkan ada monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn. Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan pada Hukum Nasional atau
Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau preferensi politis. Bagi
pandangan yang mempunyai sikap politis nasionalis, akan mengutamakan Hukum
Nasional. Sebaliknya bagi pandangan yang simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum Internasional.[12]
Berdasarkan pentingnya hubungan lintas Negara, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menyelesaikan segala masalah yang timbul dari hubungan antar Negara tersebut. Hukum internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara. Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya.
 Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional;
a.               Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional,
b.               Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri dan
c.               kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional.
Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain. Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya. Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.
Mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional terdapat hubungan pemberlakuan hukum internasioanal terhadap hukum nasional. Ada dua teori yang melandasi hubungan pemberlakuan ini, yaitu teori transformasi dan teori adopsi khusus. Teori transformasi menyatakan bahwa pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional dengan transformasi traktat atau perjanjian internasional kedalam hukum nasional, yang bukan hanya menjadi syarat formal melainakan merupakan syarat substansial denngan sendirinya mensahkanperluasan berlakunya kaidah-kaidah yang dimuat dalam trakktat terhadap individu. Teori ini bersandarkan pada sifatt konsensula hukum internasional yang berbeda dengan sifat non-nonsensual dari hukum nasional.[13]
Menurut teori adopsi khusus berpandangan yang hamper sama dengan teoritransformasi yaitu kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat secara langsung diberlakukan dilingkungan nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional atau oleh siapapun. Untuk memberlukakan kaidah tersebut hukum nasional harus bersumber kepada hukum internasional.[14]



C. kesimpulan
            Sebagai penutup dari pembahsan ini, perlu dikemukan kesimpulan sebagai berikut, terdapat dua paham  tentang hubungan hukum nasional dengan hukum internasional. Pertama, paham dualisme yang menyatakan bahwa hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara keseluruhannya. Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah,tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi.
paham monisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.


[1] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:Putra Abardin, 1999 hal 1
[2] Ibid hal 3
[3] Phartiana I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar maju, 2003
 hal 4
[4] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kedua , Bandung:Putra Abardin, 2003 hal 4

[5] J.G.Starke, Pengantar Hukum internasional (Edisi kesepuluh) Jakarta:Sinar Grafika Hal 19
[6] Burhan tsani, status hukum internasional dan Perjanjian internasional dalam hukum Nasional republik indonesia (dalam perspektif hukum tata negara), www.scribd.com diakses pada tanggal 6 januari 2010
[7] Opcit J.G Starkee, hal 96
[8] Ibid hal 97
[9] Muhammad Burhantsani,Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1990 hal 26
[10] Opcit mochtar hal 40
[11] Ibid hal 99
[12] Opcit Burhan Tsani
[13] Ibid Hal 101

Daftar pustaka

I Wayan, Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar maju, 2003
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:Putra Abardin, 1999
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional(edisi Kedua), Bandung:Putra Abardin, 2003
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional(edisi Kesepuluh), Jakarta:sinar Grafiak, 2004
Burhan tsani muhammad, status hukum internasional dan Perjanjian internasional dalam hukum Nasional republik indonesia (dalam perspektif hukum tata negara), www.scribd.com diakses pada tanggal 6 januari 20
__________________,Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990


Implementasi hak asasi manusia terhadap tersangka dalam pengaturan tentang proses penyidikan ditinjau dari tujuan sitem peradilan pidana


A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Di Indonesia untuk menjalankan acara pidana telah diatur oleh undang-undang. hukum acara pidana ini diatur dalam undang-undang yang telah dikodifikasi yaitu kitab undang-undang hukum pidana. Kodifikasi ini mengatur menganai seluruh hukum acara pidana, kecuali undang-undang diluar kodifikasi ini mengatur penyimpangan dari leg generali kodifikasi ini.  Terdapat istilah lain dalam hukum acara pidana yaitu sistem peradilan pidana.  Sistem peradilan pidana sebenarnya bukanlah hukum acara pidana secara utuh namun hukum acara pidana adalah bagian dari sistem peradilan pidana. Menurut andi hamzah yang membedakan hukum acara pidana dengan sistem peradilan pidana adalah runag lingkupnya. Dimana hukum acara pidana ruanglingkupnya lebih sempit, yaitu dimulai dari penyelidikan, penyidikan dan berkhir dengan pelaksanaan eksekusi oleh jaksa. Namun sistem peradialan pidana mengatur sampai pemidanaan.[1] Jadi sistem peradilan pidana intinya dalam hal ini mengatur bagaimana menerapkan keadilan dalam hukum pidana.
Sistem peradilan pidana yang dituliskan dalam KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal system). Sistem terpadu tersebut diletakan di atas landasan prinsip diferensial funsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Tujuan pokok dari gabungan fungsi tersebut adalah untuk menegakan, melaksanakan dan memutuskan hukum pidana.[2] Gabungan fungsi tersebut adalah legislator, polisi, jaksa, pengadilan dan penjara.
Dalam sistem peradilan pidana salah satunya terdapat proses penyidikan terhadap tersangka yang dilakukan oleh polisi. Sebagaimana diatur dalam pembahasan ketentuan umum KUHAP, pasal 1 butir 1 dan 2, memutuskan pengertian penyidikan yang mana penyidik adalah pejabat polri atau pejabat pegawai negeri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. sedangkan penyidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. sedangkan penyidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur oleh undang-undang untuk mencari serta mengumpulakan alat bukti dan dengan bukti itu membuat menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Pada tingkat penyidikan dititik beratkan kepada tindakan mecari alat bukti dan menemukan pelakunya. bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut [3]:
1.      Ketentuan tentang alat  bukti
2.      Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik
3.      Pemeriksaan ditempat kejadian
4.      Pemanggilan tersangka dan terdakwa
5.      Penahanan sementara
6.      Penggeledahan
7.      Pemeriksaan dan interogasi
8.      Berita acara
9.      Penyitaan
10.  Penyampingan perkara
11.  Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengmbaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan
Dalam proses penyidikan ini adalah hal yang sangat berhubungan dengan hak asasi manusia. Dalam penyidikan pihak aparat penegak hukum dalam hal ini adalah polisi yang melakukan kontak langsung dengan tersangka. Polisi melakukan tindakan secara langsung kepada tersangka karena diberi wewenang untuk itu. Karena itulah perlu adanya pengetahuan yang pasti dan jelas mengenai penyidikan. Tersangka memiliki pengertian seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagi pelaku tindak pidana. Pengertian ini terdapat dalam KUHAP pada pasal 1 butir 14.
 Tersangka dalam proses penyidikan tentu memiliki hak-hak agar tidak terjadi pelanggaran mengenai hak asasi manusia. Salah satu hak tersangka yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan diantara sarjana hukum adalah hak untuk menjawab pertanyaan oleh penyidik. hak dari tersangka ini dianut oeh negara inggris. Sebelum dimulainya pemeriksaan, pemeriksa harus mengatakan kepada tersangka bahwa tersangka berhak untuk diam atau tidak menjawab pertanyaan. Masalah ini ternyata tidak tegas dianut dalam KUHAP.[4] Menurut penulis bahwa permasalahan inilah yang sering membuat terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk mendapatkan keterangannya tersangka harus menjawab yang diajukan kepadanya, bahkan berdasarkan informasi dari media masa tak jarang dalam proses pemeriksaan tersangka dipaksa untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan yang diinginkan oleh pemeriksa.
Memang hak-hak tersangka sudah diatur dalam KUHAP, namun dalam hal ini perlu diperhatikan juga apakah hak-hak tersangka tersebut sudah sesuai dengan hak-hak asasi manusia. Siapapun dan dalam keadaan apapun dia tetap memiliki hak asasi sebagai manusia. Hal ini tidak dapat dilanggar oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
2.      Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas mengenai :
“Bagaimana implementasi hak asasi manusia terhadap hak-hak tersangka dalam pengaturan tentang proses penyidikan ditinjau dari tujuan sitemperadilan pidana?”

B. Pembahasan
1. Pengertian penyidikan
            Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan opsporing dalam bahasa belanda dan investigation dalam bahasa inggris. Dalam KUHAP memberikan pengertian sebagai berikut :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengulpulakan alat bukti dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan pelakunya.”
 Menurut De Pinto menyidik berarti pemeriksaan permulaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.[5] pada tingkat penyidikan ini tindakan dititik beratkan pada mencari dan mengumpulkan alat bukti supaya tindak pidana yang dilakukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak asasi manusia. Bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut[6]:
1.      Ketentuan tentang alat  bukti
2.      Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik
3.      Pemeriksaan ditempat kejadian
4.      Pemanggilan tersangka dan terdakwa
5.      Penahanan sementara
6.      Penggeledahan
7.      Pemeriksaan dan interogasi
8.      Berita acara
9.      Penyitaan
10.  Penyampingan perkara
11.  Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
Hal yang disebut diatas menjelaskan bahwa tindakan penyidikan banyak yang berhubungan langsung antara penyidik dengan tersangka. yang mempunyai peranan terpenting dalam implementasi hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan ditingkat penyidikan adalah penyidik. [7]
2. pengertian tersangka
            KUHAP memberikan pengertian tersangka adalah “seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”pengetian ini terdapa dalam butir 14 pasal 1 KUHAP. Dalam defenisi tersebut. Wetboek Van Strafvordering belanda tidak membedakan istilah antara tersangka dengan terdakwa,tetapi hanya terdapat satu istilah untuk kedua macam istilah tersebut yaitu verdachte.  Namun demikian dibedakan istilah vedachte sebelum penututan dan sesudah penuntutan dan pengertian verdachte sebelum penuntutan paralel dan pengertian tersangka dalam KUHAP. Sedangkan pengertian verdachte sesudah penuntutan parallel dengan pengertian terdakwa seperti tersebut dalam butir 15 pasal 1 KUHAP. Yang sama denga istilah KUHAP adalah inggris yang membedakan pengertian setelah penuntutan dengan sebelum penuntutan.[8]
            Dalam defenisi tersebut terdapat kata “…karena perbuatannya atau keadaanya…” menurut andi hamzah kata tersebut kurang tepat karena kalau demikian, penyidik sudah mengtahui perbuatan tersangka sebelumnya, padahal ini akan disidik. Dalan hal ini kata yang harus dipakai adalah “fakta-fakta dan keadaan”  karena kata itu lebih tepat dan lebih objektif. Dalam pengertian diatas juga terdapat kata tindak pidana, tindak pidana ini juaga memiliki arti, artinya tersebut adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barang siapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi.[9]
            Suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur. Menurut Moedjatno, unsur tindak pidana adalah[10] :
a.       Perbuatan
b.      Yang dilarang oleh aturan hukum
c.       Ancaman pidana bagi yang melanggar larangan.
3. hak-hak tersangka dalam penyidikan
            Tersangka diberikan hak-hak dalam proses penyidikan. Hak-hak tersebut diberkan kepada tersengka sejak dia mulai diperiksa. Salah satu hak tersangka yang masih menjadi pro dan kontra dari para sarjan hukum adalah hak untuk memberikan atau tidak memberikan keterangan. Di indonesia sendiri ternyata KUHAP belum menganut asas ini. Menurut Wirjono Prodjodikoro hal ini akan menimbulkan kebisaan bagi tersangka untuk memaksa bahkan menyiksa yang sukar dihilangkan. Bahkan pemriksaan dengan paksaan sebenarnya adalah tindak pidana.[11] Kebebasan tersangka untuk menjawab atau tidak menjawab seharusnya merupakan hak tersangka. Hal yang yang membuktikan tindak pidana seharusnya diutamakan terhadap alat bukti yang dikumpulkan oleh penyidik.
            Tersangka diberikan seperangkat hak oleh KUHAP dari pasal 50 sampai pasal 68. Hak-hak itu meliputi sebagai berikut :
1.      Hak untuk segera diperiksa dan diajukan ke pengadilan.
2.      Hak untuk mengetahui dengan jelas dangan bahasa yang dimengerti oleh nya tentang apa yang disangkakan kepadanhya.
3.      Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepad penyidik
4.      Hak untuk mendapatkan juru bahasa.
5.      Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap pemeriksaan.
6.      Hak untuk mendapatkan nasehat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk dari pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan bagi tersangka.
7.      Hak tersangka yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya.
8.      Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka yang ditahan.
9.      Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka yang ditahan untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud maksud yang sama dengan di atas.
10.  Hak untuk dikunjungi oleh sanak keluarga yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka.
11.  Hak tersangka untuk berhubungan surat-menyurat dengan penasihat hukumnya.
12.  Hak tersangka untuk untuk mengunjungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
13.  Hak tersangka untuk mengajukan saksi.
14.  Hak tersangka untuk menuntut ganti kerugian.
Hak-hak tersangka diatas perlu diberikan dan diketahui oleh tersangka agar dalam proses ini tersangka tidak dirugikan dan penegakan hukum benar-benar dapat dilaksanakan. Penegakan hukum tersebut didefenisikan sabagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang telah dipositifkan melalui Undang-Undang kedalam kenyataan.[12]



4. Implementasi hak asasi manusia terhadap tersangka dalam pengaturan tentang proses penyidikan ditinjau dari tujuan sistem peradilan pidana
            Sitem pradilan pidana memiliki tujuan untuk memberikan keadilan bagi semua, dengan menghukum dan menghukum yang bersalah dan membantu mereka untuk berhenti menyinggung, sekaligus melindungi yang tidak bersalah.[13] Jika dikaitkan dengan hak-hak tersangka tentu ini akan sangat banyak sekali menyinggung permaslahan HAM.
Salah satu perkembangan yang menjadi isu Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi Manusia, dan lazimnya Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan Proses Peradilan Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim Pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.  
hak asasi manusia telah menjadi suatu norma yang diterima dalam masyarakat kontemporer internasional. prinsip-prinsipnya secara luas telah diakui dan memperoleh legitimasi dibanyak negara. terdapat enam kesepakatan internasional menganai HAM, yakni[14] :
1.      Tentang hak-hak sipil dan politik
2.      Hak ekonomi, sosial dan budaya
3.      Diskriminasi rasial
4.      penyiksaan
5.      Diskriminasi terhadap perempuan
6.      Hak-hak anak
Yang semuanya telah telah disepakati oleh 156 negara. dampak dari penerimaan HAM sebagai domain dari teori politik dan bukan moral, memaksa negara untuk melayani setiap warganya yang setara dan dengan penuh penghormatan. Artinya kesataraan dan penghormatan tidak ditentukan dan diberikan berdasarkan tuntutan mayoritas, namun ditentukan dan diberikan sebagai hak setiap orang dan setiap kelompok. Peran negara dapat dipertimbangkan di sini: pemerintah harus melayani dan member perlakuan setiap orang dengan setiap orang dengan perhatian yang sama, artinya sebagai manisia yang mengalami penderitaan dan frustasi, dan dengan penghormatan sebagai manusia yang mampu membentuk dan bertinfak sesuai dengan kemampuan intelaktualnya dan pilihan-pilihan bagaiman ia harus hidup. Pemerintah tidak saja melakukan setiap orang dengan hormat, akan tetapi dengan menberikan perhatian dan penghormatan yang sama. Pemerintah tidak dapat mendistribusikan barang dan kesempatan secara tidak adil karena ada yang lebih berhak. Tidak dapat pula membatasi kebebasan seseorang karena ada kelompok orang yang merasa konsep tentang kehidupannya lebih baik dari yang lainnya.
Sebagaimana tercantum dalam “Law and the Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay, halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as Confidence Game: Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S. Blumberg, dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan dasar pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan oleh aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak menyadari.[15] Dalam hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan pidana yang seharusnya tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun selain keadilan, maka dalam proses pidana diharapkan peran serta lembaga bantuan hukum untuk ikut serta menegakkan keadilan.
Dalam undang-undang pasal-pasal yang menjamin secara garis besar tentang tantang hak asasi manusia dalam suatu proses acara pidana. Di dalam undang-undang tersebut kita jumpai pengaturan-pengaturan sebagai berikut[16] :
1.      Semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
2.      Tiada seorang pun jua dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan ang sah dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur undang-undang.
3.      Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
4.      Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an bersarkan undang-undang atau Karena kekeliruanmengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian atau rehabilitasi. Pejabat yang dengan sengaja melakukan hal tersebut dapaat dipidana.
5.      Setiap orang yang bersangkutan dengan perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Berdasarkan undang-undangnya hukum acara pidana telah memperhatikan hak asasi manusia. Dengan itu maka berarti tujuan dari sitem peradilan pidana yang menuntut adanya keadilan untuk semua pihak telah tercapai dari segi undang-undang. Namun pada prakteknya sering terjadi akan mengantarkan kita pada permaslahan yang kadang-kadang menyakitkan dan terlalu ekstrim ditinjau dari asas kekeluargaan. Istilah-istilah seperti police brutality, victim of abuse of power, crime of the government, police violence paling tidak dat dijadikan contoh kerawanan tersebut.[17] Hal semacam inilah dikarenakan  wewenang yang terlalu besar yang diperoleh polisi, jaksa, dan hakim dalam menjatuhkan upaya paksa cenderung menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM.[18]

C. Kesimpulan
            Hak-hak tersangka yang terdapat dalam undang-undang telah menimbang mengenai HAM yang diantaranya adalah :
1.      Semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
2.      Tiada seorang pun jua dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
3.      Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
4.      Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an bersarkan undang-undang atau Karena kekeliruanmengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian atau rehabilitasi. Pejabat yang dengan sengaja melakukan hal tersebut dapaat dipidana.
5.      Setiap orang yang bersangkutan dengan perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Dengan demikian tujuan sistem peradilan pidana untuk terciptanya keadilan bagi seluruh warga negara telah terpenuhi dalam memberikan hak-hak tersangka tersebut. Karena dengan memperhatikan HAM berarti keadilan yang diinginkan telah tercapai.

Daftar Pustaka
Abdurahman, pembaharuan hukum acara pidana dan hukum acara pidana baru  di Indonesia, alumni, bandung, 1980
Adam Chzawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1 stelsel pidana, tindak pidana, teori-teori pemidanaan dan batas berlakunya hukum pidana, PT. rajagrafindo persada, Jakarta, 2002
Adtyawarman , Peran bantuan hukum terhadap perlindungan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana umum: Studi kasus pada pos bantuan hukum DKI Jakarta
Andi hamzah, hukum acara pidana Indonesia, sinar grafika, Jakarta, 2001
Arun Steva,pelanggaran hak-hak tersangka dalam proses penyidikan
Cosmas Dimas D.D, Implementasi hak-hak tersangka sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan ( studi kasus di Poltabes Surakarta)
Djoko prakoso, alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam proses pidana, liberty, Yogyakarta, 1988
Leden merpaung, proses penanganan perkara pidana, sinar grafika, Jakarta, 1992
Muladi, hak asasi manusia, politik dan sistem peradilan pidana, universitas diponegoro, semarang, 2002
Saraswati, et al. Hak Asasi  Manusia teori, hukum dan kasus, filsafat UI press, Jakarta, 2006
Soeharto RM, Hukum Pidana Materil unsur-unsur objektif sebagai dasar dakwaan, sinar grafika, Jakarta, 1993
Sumartini, pembahsan perkembangan pembangunan hukum nasional tentang hukum acara pidana, departemen kehakiman, Jakarta, 1996
Syafruddin, hak asasi tersangka untuk mendapat bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana,Universitas Sumatera Utara
Yahya Harahap, pembahasan, permaslahan dan penerapan KUHAP bagian penyidikan dan penuntutan, sinar grafika, Jakarta, 2002

Undang-undang no. 8 tahun 1981
www.elsam.org.id diakses pada 4 April 2010


[1]Andi hamzah, hukum acara pidana Indonesia, hlm 3
[2]Yahya Harahap, pembahasan, permaslahan dan penerapan KUHAP bagian penyidikan dan penuntutan, hlm. 90
[3] Sumartini, pembahsan perkembangan pembangunan hukum nasional tentang hukum acara pidana, departemen kehakiman, Jakarta, 1996, hlm. 31
[4] Andi Hamzah, Op cit, hlm 64
[5] Leden merpaung, proses penanganan perkara pidana, sinar grafika, Jakarta, 1992, hlm. 73
[6]Andi Hamzah, op cit, hlm 118
[7] Cosmas Dimas D.D, Implementasi hak-hak tersangka sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan ( studi kasus di Poltabes Surakarta)
[8] Djoko prakoso, alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam proses pidana, liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 35
[9] Soeharto RM, Hukum Pidana Materil unsur-unsur objektif sebagai dasar dakwaan, sinar grafika, Jakarta, 1993, hlm. 22
[10] Adam Chzawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1 stelsel pidana, tindak pidana, teori-teori pemidanaan dan batas berlakunya hukum pidana, PT. rajagrafindo persada, Jakarta, 2002, hlm. 79
[11] Andi hamzah, op cit, hlm. 65
[12] Adtyawarman , Peran bantuan hukum terhadap perlindungan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana umum: Studi kasus pada pos bantuan hukum DKI Jakarta

[13] www.elsam.org.id diakses pada 4 April 2010
[14] Saraswati, et al. Hak Asasi  Manusia teori, hukum dan kasus, filsafat UI press, Jakarta, 2006, hlm. 123
[15] syafruddin, hak asasi tersangka untuk mendapat bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana,Universitas Sumatera Utara
[16] Abdurahman, pembaharuan hukum acara pidana dan hukum acara pidana baru  di Indonesia, alumni, bandung, 1980, hlm. 63
[17] Muladi, hak asasi manusia, politik dan sistem peradilan pidana, universitas diponegoro, semarang, 2002, hlm. 39
[18] arun steva,pelanggaran hak-hak tersangka dalam proses penyidikan